TUGAS FISIKA (EFEK PEMANASAN
GLOBAL)
Nama Kelompok :
1) Bayu Satria Gerby
2) Indra Darmawan
3) Meita Rizky Nanda
4) Nabhila Iklimah
5) Warsinah
6) Yuliana Sari
Kelas XI.MIA.1
SMA NEGERI 2 BABELAN
Kata Pengantar
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Kami panjatkan puja
dan puji syukur atas kehadiratnya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayahnya kepada Kami, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah Fisika tentang Efek Pemanasan Global.
Adapun
makalah Fisika tentang Efek Pemanasan Global ini telah Kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan kerja keras Kami.
Namun
tidak lepas dari semua itu, Kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik
dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka Kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada Kami sehingga Kami dapat memperbaiki makalah
Fisika ini.
Akhirnya
Kami dari Tim penyusun mengharapkan semoga dari makalah Fisika tentang Efek
Pemanasan Global ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang Kami ketahui.
Kabupaten Bekasi, 21 April 2015
Tim Penyusun
Daftar Isi
·
Kata
Pengantar
·
Daftar
Isi
·
Pengertian
Efek Pemanasan Global
·
Penyebab
Efek Pemanasan Global
·
Dampak
Pemanasan Global
·
Perincian
Biaya
·
Foto
·
Daftar
Pustaka
Pengertian
Pemanasan Global
Pemanasan global (Inggris:
global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah
meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama
seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20
kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas
rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1]
melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah
dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih
terdapat beberapa ilmuwan
yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga
11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1]
Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario
berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta
model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian
terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut
diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun
tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1]
Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan
menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut,
meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2]
serta perubahan jumlah dan pola presipitasi.
Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,
hilangnya gletser,
dan punahnya
berbagai jenis hewan.
Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah
mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan
bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan
bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi
perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang
harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau
untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar
pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani
dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi
gas-gas
rumah kaca.
Penyebab pemanasan global
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal
dari matahari. Sebagian besar energi tersebut
berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi
panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar.
Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer Bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang
radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan
ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya
konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di
bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala
makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat
dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya
telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada
efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh
permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh
berbagai proses umpan balik yang
dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan
pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer.
Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan
menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan
konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila
dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan
agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara
perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian
saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan
meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek
pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan
tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian
awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim,
antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara
batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan
balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap
air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan
dalam Laporan Pandangan IPCC ke empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya
kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es
yang berada di dekat kutub mencair
dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Hal ini akan menambah pemanasan
dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang
berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2
dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap
pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang
juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan
berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat
nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang
rendah.[5]
Variasi Matahari
Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam
pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini
dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah
diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila
aktivitas matahari menjadi
kontributor utama pemanasan saat ini. Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an. Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek
pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan
sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kontribusi matahari mungkin
telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi
terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan
bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan
terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh matahari; mereka juga mengemukakan bahwa
efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka
menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap
pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan
yang terjadi pada dekade-dekade terakhir
ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak
menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari matahari pada seribu tahun terakhir ini.
Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat
"keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil
untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich
menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output
matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Mengukur pemanasan global
Pada awal 1896, para ilmuwan beranggapan bahwa
membakar bahan bakar fosil akan
mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan suhu rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika
para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International
Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan
konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat.
Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan
konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuwan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi
mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Suhu terus bervariasi
dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu
bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan
suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat
dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan
daerah perkotaan sehingga pengukuran suhu akan dipengaruhi oleh panas yang
dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh
material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca
yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan
pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang
tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa
kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat
pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus
tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi
setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa suhu udara
global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861.
Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas
manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan suhu
rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga
11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa
meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat
selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih
sebelum alam mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli
memprediksi, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali
lipat pada awal abad ke-22 bila
dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan
iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah
terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah
ini dengan risiko populasi yang sangat besar.
Model iklim
Perhitungan
pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang
dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuwan telah mempelajari pemanasan global
berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamika fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan
beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model
ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih
hangat.[16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi
yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca pada masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu
rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap
konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar
1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun
1990 dan 2100.[1] Model-model iklim juga digunakan
untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini
dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model
terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup
baik dengan perubahan suhu global hasil pengamatan selama seratus tahun
terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim.[17] Model-model ini tidak secara pasti
menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945
disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka
menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang
dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim pada masa depan, dilakukan
berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari laporan Khusus
terhadap skenario emisi (Special Report on
Emissions Scenarios/SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model
menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya
masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan
20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan
beberapa umpan balik positif.[18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang
menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model yang dihasilkan saat ini,
walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini.[21] Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi
yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan
efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.
Dampak pemanasan global
Para ilmuwan menggunakan model komputer dari suhu, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global.
Berdasarkan model tersebut, para ilmuwan telah membuat beberapa prakiraan
mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan
manusia.
Iklim mulai tidak stabil
Para ilmuwan memperkirakan bahwa selama
pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di
Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan
mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan
mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi
salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan
lebih panjang di beberapa area. Suhu pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembap karena lebih
banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembapan tersebut malah akan meningkatkan
atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih
banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal ini akan menurunkan
proses pemanasan (lihat siklus air).
Kelembapan yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar
1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah hujan di seluruh
dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain
itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan
menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan
mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh
kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan
terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.
Peningkatan permukaan laut
Perubahan
tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil
secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga
volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga
akan mencairkan banyak es di kutub, terutama
sekitar Greenland, yang lebih
memperbanyak volume air di laut. Tinggi
muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 - 10 inchi)
selama abad ke-20, dan para ilmuwan
IPCC memprediksi peningkatan lebih
lanjut 9 – 88 cm (4 - 35 inci) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat memengaruhi kehidupan
di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi)
akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit
pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di
daratan. Negara-negara kaya akan
menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari
daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat
memengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan
menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi
tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini
akan menutupi sebagian besar dari Everglades, Florida.
Suhu global cenderung meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih
banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di
beberapa tempat. Bagian selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan
mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di
lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah
pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack
(kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak
bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga
dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit
menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai
manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub
atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari
daerah baru karena habitat lamanya
menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu
secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Perincian Biaya:
·
Sterofoam : Rp. 6.000
·
Karton : Rp. 2.500 X @2 buah: Rp.
5.000
·
Lem : Rp. 5.000
·
Stick Ice
Cream :
@1 pack Rp. 11.000
·
Origami : Rp. 6.000
·
Print Out : Rp. 15.000
·
Total : Rp. 48.000
No comments:
Post a Comment